Banyak yang tanya 'Sin, apa rasanya jadi minoritas?', jujur bingung jawabnya karena aku engga ngerasain apa-apa HAHAHA. Kalau yang belum tau, aku asli keturunan Bali. Kalau ditarik garis keturunan sampai ke atas-atasnya emang mutlak leluhurku dari Bali, jadi engga usah diragukan lagi. Tapi benar juga aku bukan lahir di Bali. Aku lahir dan tumbuh besar di Kota Batam, Kepulauan Riau karena kedua orang tua ku sudah lama bekerja di sana. Batam sendiri sangat kental dengan tradisi Melayu-nya, baik dari bahasa ataupun pakaiannya. Selain itu, Batam juga dikenal sebagai kota perantauan, jadi ya gak sedikit yang datang dan tinggal di Batam adalah orang-orang dari berbagai latar belakang. Batam dan Bali pasti berbeda, bukan cuma bahasa atau makanannya aja, tapi mayoritas agama yang dianut masyarakatnya juga. Dari sini bisa disimpulkan aku adalah seorang Hindu yang lama tinggal di Batam dimana penduduknya sebagian besar memeluk Islam.
Bagaimana kehidupanku selama di Batam?
Di Batam aku terbiasa menggunakan bahasa Indonesia sehingga aku tidak fasih berbahasa Bali. Aku paham apa yang orang bicarakan tapi vocabulary Bali-ku masih terbatas jadi engga bisa bales atau menimpali. Dari aku kecil, orang tuaku tidak pernah melarang untuk berteman dengan siapapun. Bahkan dari TK-SMP aku dan kakakku disekolahkan di sekolah Katolik. Alasan orang tuaku nyekolahin disitu karena emang sekolahku itu terkenal bagus dan disiplin. Orang tuaku tau benar kalau di sana aku dapet pelajaran agama Katolik, mengafal serta melafalkan doa Katolik. Bahkan beberapa kali aku ikut misa untuk doa bersama kelulusan, retret di gereja, menghias pohon natal, dll. Tapi lucunya orang tuaku sekalipun tidak pernah melarang dan tidak masalah dengan segala kegiatan di sekolah. Beberapa temanku pernah tanya 'emang kamu engga takut apa terpengaruh terus pindah agama?' atau 'Kenapasih kamu engga sekolah di sekolah lain yang engga mewajibkan buat belajar agama lain?' jujur waktu itu aku juga sempat penasaran. Akhirnya aku tanya langsung ke orang tuaku sebagai yang memutuskan untuk menyekolahkan aku di sana dan kurang lebih berikut jawaban mereka:
"Buat apa takut. Semua agama pasti mengajarkan kebaikan kan, mau itu Hindu, Katolik, Kristen, dan lainnya. Beragama itu bukan berarti menutup diri dari agama lain. Sinta beragama Hindu bukan berarti tidak boleh tau dan belajar agama lain. Kalau Sinta memang yakin sama Hindu, seharusnya akan selalu seperti itu sampai kapanpun." DEG. Dari jawaban orang tuaku inilah yang secara gak sadar membentuk definisi beragama di pemahamanku. Setelah lulus SMP aku lanjut SMA di sekolah negeri yang semakin luas pergaulanku karena semakin banyak orang baru dan bervariasi harus aku temui saat itu.
Bagaimana pergaulan sebagai seorang 'minoritas'?
Selama 18 tahun aku hidup di Batam, aku berteman dengan banyak orang yang 'berbeda', bukan cuma keyakinannya tapi juga cara hidupnya. Percaya gak percaya, tapi ini bener-bener jujur, selama itu juga aku belom pernah ngerasa dikucilkan atau terpencil. Sebaliknya, aku selalu merasa percaya diri dimanapun, mengobrol dengan siapapun, dan pergi kemanapun. Dulu pas sekolah di swasta, teman-teman yang aku temui kebanyakan ber-ras chinese. Berbeda saat aku pindah ke SMA negeri, aku lebih banyak bertemu dengan teman-teman lokal, ada yang suku Batak, Jawa, Melayu, Bugis, dll. Se-bervariasi itu temen-temenku. Waktu SMA, sekolahku tiap pagi ada ibadah membaca kitab suci Alquran selama kurang lebih 30-45 menit. Dalam waktu segitu biasanya aku ke kantin buat sarapan sambil nungguin bel mata pelajaran bunyi. Selain itu, saat pelajaran agama biasanya temen2 yang Muslim akan belajar di kelas sedangkan temen2 yang Katolik dan Kristen belajar di perpustakaan. Lalu aku kemana? Aku ke perpustakaan untuk belajar, baca buku, ngerjain tugas, atau ya... tidur HAHAHA. Kelasku dekat dengan Masjid sekolah, jadi kalau waktunya sholat akan terdengar adzan berkumandang yang cukup jelas. Waktu puasa di bulan Ramadhan, aku tetap makan di kelas seperti biasa, tidak ada adegan sembunyi-sembunyi. Kenapa? Karena jelas aku tidak puasa, aku butuh makan dan minum dan temen-temenku paham itu. Biasanya aku suka ngomong 'Maaf ya aku jadi setan kalian duluan' sebelum makan atau minum HAHAHA, bercanda itu maksudnya bukan beneran jadi setan ya (amit-amit). Sehari sebelum aku Nyepi, sering banget aku ditanyain 'kenapa engga boleh makan minum seharian', 'kalau mau pipis gimana?', 'seharian ngapain aja pas Nyepi' dan selalu aku jawab sesuai dengan pemahamanku. Biasanya kan sebelum Nyepi ada arak-arakan ogoh-ogoh dari pura- ke titik tertentu. Nah banyak temen-temenku yang dateng buat ikutan arak2an ataupun foto2, seruu bangett. Sampai sekarang aku masih berteman sangat baik sama teman-temanku. Kita sering tuker2an ucapan selamat hari raya di sosial media. Bahkan pas aku kuliah di Surabaya, aku sering dianterin temenku sembahyang di pura atau aku yang nganterin mereka ke gereja dan masjid. Kalau lagi rapat terus udah waktunya sholat, biasanya aku dan temen2 non muslim nungguin temen2 yang muslim sholat. Angkatanku juga selalu rutin ngadain buka puasa bersama setidaknya sekali setiap Ramadhan. Kalau ditanya kenapa aku bisa percaya diri dan bergaul dengan banyak orang dari berbagai latar belakang, mungkin karena dari awal aku tidak pernah men-kotak-kotak-an mereka, aku melihat mereka sama dan sederajat denganku, aku tidak pernah nanya 'kamu agama apa' sebelum berteman. Jadinya aku gak pernah takut bergaul dengan siapapun.
Belajar agama dan budaya Bali darimana?
Sebagai seorang Hindu, aku dan keluarga cukup taat beribadah ke Pura. Selain itu, untuk memenuhi kebutuhan rohaniku, aku ikut sekolah agama tiap hari minggu. Bisa dibilang itu momentku untuk bertemu dengan teman-teman seimanku dan se-suku. Aku emang engga bisa bahasa Bali, tapi bukan berarti aku kehilangan Bali di darahku. Dari umur 7 tahun aku belajar nari Bali, aku sempat masuk koran karena saat itu cukup jarang anak kecil di Batam bisa nari Bali dimana-mana. Aku sering ngisi acara nari Bali di sekolah, di perusahaan-perusahaan, acara pemkot, sampai puncaknya aku pernah nari ke luar negeri. Selain nari Bali, aku juga bisa nari Melayu. Aku sering diutus sekolah buat nari persembahan Melayu di acara-acara besar se-kota Batam. Jadi, berada jauh dari Bali bukan berarti aku lupa dengan kebudayaan Bali, berada di Batam juga bukan berarti aku tidak belajar kebudayaannya.
Apa Bad moment sebagai minoritas?
Engga semua orang mungkin sepemahaman. Ada saatnya aku pernah bertemu orang-orang yang kurang bisa menerima perbedaan dan menganggap perbedaan sebuah kesalahan. Pertanyaan atau yang lebih terdengar seperti 'penghakiman' pasti pernahlah masuk ke telingaku, seperti 'Di agamaku ada kok di agamamu gak ada?', 'Agamamu kok ngebolehin ini, padahal kan gini', 'Sini masuk agamaku aja', 'Harusnya kamu tuh gini, karena di agamaku begini', dan lain-lainnya. Sebagai manusia biasa pasti pernah ya yang namanya tersinggung dan sedih, kayak kenapa harus ngebandingin hal-hal yang seharusnya engga usah dibanding-bandingin, kenapa harus berusaha merasa paling benar padahal di case ini seharusnya engga ada yang salah ataupun lebih benar, kenapa kenapa kenapa. Tapi aku sedikit banyak mencoba untuk paham, kalau mereka belum mengenal agamaku jadinya mereka kurang tau, kalau mereka mungkin sangat mencintai agamanya tapi belum sepenuhnya paham bagaimana mencintai dengan cara yang lebih tepat. Jadi aku mulai untuk engga nyalahin mereka karena mereka belum paham. Aku lebih memilih untuk diam dan tidak berdebat karena menurutku satu-satunya topik yang tidak bisa didebatkan di bumi ini adalah agama.
Apa yang bisa dipelajari menjadi seorang minoritas?
Toleransi. Hal yang paling aku banggakan dari diri aku sendiri adalah kadar toleransiku. Kalau ada temenku yang main ke kosku dan butuh sholat, dengan senang hati aku minta pinjeman sajadah dan mukenah dari temen2 kos yang muslim atau ibu kos, kalau ada temenku yang lagi pelayanan di gereja dan harus datang terlambat untuk kerja kelompok, aku bisa terima dan bersedia nungguin mereka. Bukan sekali dua kali aku masuk ke masjid, gereja, vihara, klenteng, dll buat nungguin temenku ibadah. Setelah perjalananku berada di berbagai lingkungan, aku merasa tumbuh jadi pribadi yang toleransi dan memandang perbedaan keyakinan sebagai kedamaian. Justru hidup, tumbuh, dan berada di tengah-tengah keberagamanlah yang bikin aku ngerasa semakin yakin dengan agamaku. Bagiku agama itu bukan sebagai paksaan ataupun keharusan, tapi sebagai kebutuhan dan pilihan hidup. Dengan pemahaman seperti ini aku terbiasa untuk menghargai dan menghormati pilihan orang, termasuk keyakinan.
Jadi apasih rasanya jadi minoritas? Nothing. Engga ngerasain apa-apa, karena menjadi minoritas seharusnya bukan kelemahan atau kemalangan ya. Minor atau mayor itu cuma tentang jumlah kok. Selama semua bisa mendefinisikan perbedaan dengan benar, pasti toleransi akan terasa lebih mudah. Lagian Tuhan itu maha besar, engga perlu dibela atau diumbar-umbar keagungannya. Cukup kita ilhami dan laksanakan ajaran-Nya😄
Mari spread love no hate!💖