Friday, November 20, 2020

Hidup sebagai Minoritas

Banyak yang tanya 'Sin, apa rasanya jadi minoritas?', jujur bingung jawabnya karena aku engga ngerasain apa-apa HAHAHA. Kalau yang belum tau, aku asli keturunan Bali. Kalau ditarik garis keturunan sampai ke atas-atasnya emang mutlak leluhurku dari Bali, jadi engga usah diragukan lagi. Tapi benar juga aku bukan lahir di Bali. Aku lahir dan tumbuh besar di Kota Batam, Kepulauan Riau karena kedua orang tua ku sudah lama bekerja di sana. Batam sendiri sangat kental dengan tradisi Melayu-nya, baik dari bahasa ataupun pakaiannya. Selain itu, Batam juga dikenal sebagai kota perantauan, jadi ya gak sedikit yang datang dan tinggal di Batam adalah orang-orang dari berbagai latar belakang. Batam dan Bali pasti berbeda, bukan cuma bahasa atau makanannya aja, tapi mayoritas agama yang dianut masyarakatnya juga. Dari sini bisa disimpulkan aku adalah seorang Hindu yang lama tinggal di Batam dimana penduduknya sebagian besar memeluk Islam.

Bagaimana kehidupanku selama di Batam?
Di Batam aku terbiasa menggunakan bahasa Indonesia sehingga aku tidak fasih berbahasa Bali. Aku paham apa yang orang bicarakan tapi vocabulary Bali-ku masih terbatas jadi engga bisa bales atau menimpali. Dari aku kecil, orang tuaku tidak pernah melarang untuk berteman dengan siapapun. Bahkan dari TK-SMP aku dan kakakku disekolahkan di sekolah Katolik. Alasan orang tuaku nyekolahin disitu karena emang sekolahku itu terkenal bagus dan disiplin. Orang tuaku tau benar kalau di sana aku dapet pelajaran agama Katolik, mengafal serta melafalkan doa Katolik. Bahkan beberapa kali aku ikut misa untuk doa bersama kelulusan, retret di gereja, menghias pohon natal, dll. Tapi lucunya orang tuaku sekalipun tidak pernah melarang dan tidak masalah dengan segala kegiatan di sekolah. Beberapa temanku pernah tanya 'emang kamu engga takut apa terpengaruh terus pindah agama?' atau 'Kenapasih kamu engga sekolah di sekolah lain yang engga mewajibkan buat belajar agama lain?' jujur waktu itu aku juga sempat penasaran. Akhirnya aku tanya langsung ke orang tuaku sebagai yang memutuskan untuk menyekolahkan aku di sana dan kurang lebih berikut jawaban mereka:
"Buat apa takut. Semua agama pasti mengajarkan kebaikan kan, mau itu Hindu, Katolik, Kristen, dan lainnya. Beragama itu bukan berarti menutup diri dari agama lain. Sinta beragama Hindu bukan berarti tidak boleh tau dan belajar agama lain. Kalau Sinta memang yakin sama Hindu, seharusnya akan selalu seperti itu sampai kapanpun." DEG. Dari jawaban orang tuaku inilah yang secara gak sadar membentuk definisi beragama di pemahamanku. Setelah lulus SMP aku lanjut SMA di sekolah negeri yang semakin luas pergaulanku karena semakin banyak orang baru dan bervariasi harus aku temui saat itu. 

Bagaimana pergaulan sebagai seorang 'minoritas'?
Selama 18 tahun aku hidup di Batam, aku berteman dengan banyak orang yang 'berbeda', bukan cuma keyakinannya tapi juga cara hidupnya. Percaya gak percaya, tapi ini bener-bener jujur, selama itu juga aku belom pernah ngerasa dikucilkan atau terpencil. Sebaliknya, aku selalu merasa percaya diri dimanapun, mengobrol dengan siapapun, dan pergi kemanapun. Dulu pas sekolah di swasta, teman-teman yang aku temui kebanyakan ber-ras chinese. Berbeda saat aku pindah ke SMA negeri, aku lebih banyak bertemu dengan teman-teman lokal, ada yang suku Batak, Jawa, Melayu, Bugis, dll. Se-bervariasi itu temen-temenku. Waktu SMA, sekolahku tiap pagi ada ibadah membaca kitab suci Alquran selama kurang lebih 30-45 menit. Dalam waktu segitu biasanya aku ke kantin buat sarapan sambil nungguin bel mata pelajaran bunyi. Selain itu, saat pelajaran agama biasanya temen2 yang Muslim akan belajar di kelas sedangkan temen2 yang Katolik dan Kristen belajar di perpustakaan. Lalu aku kemana? Aku ke perpustakaan untuk belajar, baca buku, ngerjain tugas, atau ya... tidur HAHAHA. Kelasku dekat dengan Masjid sekolah, jadi kalau waktunya sholat akan terdengar adzan berkumandang yang cukup jelas. Waktu puasa di bulan Ramadhan, aku tetap makan di kelas seperti biasa, tidak ada adegan sembunyi-sembunyi. Kenapa? Karena jelas aku tidak puasa, aku butuh makan dan minum dan temen-temenku paham itu. Biasanya aku suka ngomong 'Maaf ya aku jadi setan kalian duluan' sebelum makan atau minum HAHAHA, bercanda itu maksudnya bukan beneran jadi setan ya (amit-amit). Sehari sebelum aku Nyepi, sering banget aku ditanyain 'kenapa engga boleh makan minum seharian', 'kalau mau pipis gimana?', 'seharian ngapain aja pas Nyepi' dan selalu aku jawab sesuai dengan pemahamanku. Biasanya kan sebelum Nyepi ada arak-arakan ogoh-ogoh dari pura- ke titik tertentu. Nah banyak temen-temenku yang dateng buat ikutan arak2an ataupun foto2, seruu bangett. Sampai sekarang aku masih berteman sangat baik sama teman-temanku. Kita sering tuker2an ucapan selamat hari raya di sosial media. Bahkan pas aku kuliah di Surabaya, aku sering dianterin temenku sembahyang di pura atau aku yang nganterin mereka ke gereja dan masjid. Kalau lagi rapat terus udah waktunya sholat, biasanya aku dan temen2 non muslim nungguin temen2 yang muslim sholat. Angkatanku juga selalu rutin ngadain buka puasa bersama setidaknya sekali setiap Ramadhan. Kalau ditanya kenapa aku bisa percaya diri dan bergaul dengan banyak orang dari berbagai latar belakang, mungkin karena dari awal aku  tidak pernah men-kotak-kotak-an mereka, aku melihat mereka sama dan sederajat denganku, aku tidak pernah nanya 'kamu agama apa' sebelum berteman. Jadinya aku gak pernah takut bergaul dengan siapapun. 

Belajar agama dan budaya Bali darimana?
Sebagai seorang Hindu, aku dan keluarga cukup taat beribadah ke Pura. Selain itu, untuk memenuhi kebutuhan rohaniku, aku ikut sekolah agama tiap hari minggu. Bisa dibilang itu momentku untuk bertemu dengan teman-teman seimanku dan se-suku. Aku emang engga bisa bahasa Bali, tapi bukan berarti aku kehilangan Bali di darahku. Dari umur 7 tahun aku belajar nari Bali, aku sempat masuk koran karena saat itu cukup jarang anak kecil di Batam bisa nari Bali dimana-mana. Aku sering ngisi acara nari Bali di sekolah, di perusahaan-perusahaan, acara pemkot, sampai puncaknya aku pernah nari ke luar negeri. Selain nari Bali, aku juga bisa nari Melayu. Aku sering diutus sekolah buat nari persembahan Melayu di acara-acara besar se-kota Batam. Jadi, berada jauh dari Bali bukan berarti aku lupa dengan kebudayaan Bali, berada di Batam juga bukan berarti aku tidak belajar kebudayaannya. 

Apa Bad moment sebagai minoritas?
Engga semua orang mungkin sepemahaman. Ada saatnya aku pernah bertemu orang-orang yang kurang bisa menerima perbedaan dan menganggap perbedaan sebuah kesalahan. Pertanyaan atau yang lebih terdengar seperti 'penghakiman' pasti pernahlah masuk ke telingaku, seperti 'Di agamaku ada kok di agamamu gak ada?', 'Agamamu kok ngebolehin ini, padahal kan gini', 'Sini masuk agamaku aja', 'Harusnya kamu tuh gini, karena di agamaku begini', dan lain-lainnya. Sebagai manusia biasa pasti pernah ya yang namanya tersinggung dan sedih, kayak kenapa harus ngebandingin hal-hal yang seharusnya engga usah dibanding-bandingin, kenapa harus berusaha merasa paling benar padahal di case ini seharusnya engga ada yang salah ataupun lebih benar, kenapa kenapa kenapa. Tapi aku sedikit banyak mencoba untuk paham, kalau mereka belum mengenal agamaku jadinya mereka kurang tau, kalau mereka mungkin sangat mencintai agamanya tapi belum sepenuhnya paham bagaimana mencintai dengan cara yang lebih tepat. Jadi aku mulai untuk engga nyalahin mereka karena mereka belum paham. Aku lebih memilih untuk diam dan tidak berdebat karena menurutku satu-satunya topik yang tidak bisa didebatkan di bumi ini adalah agama. 

Apa yang bisa dipelajari menjadi seorang minoritas?
Toleransi. Hal yang paling aku banggakan dari diri aku sendiri adalah kadar toleransiku. Kalau ada temenku yang main ke kosku dan butuh sholat, dengan senang hati aku minta pinjeman sajadah dan mukenah dari temen2 kos yang muslim atau ibu kos, kalau ada temenku yang lagi pelayanan di gereja dan harus datang terlambat untuk kerja kelompok, aku bisa terima dan bersedia nungguin mereka.  Bukan sekali dua kali aku masuk ke masjid, gereja, vihara, klenteng, dll buat nungguin temenku ibadah. Setelah perjalananku berada di berbagai lingkungan, aku merasa tumbuh jadi pribadi yang toleransi dan memandang perbedaan keyakinan sebagai kedamaian. Justru hidup, tumbuh, dan berada di tengah-tengah keberagamanlah yang bikin aku ngerasa semakin yakin dengan agamaku. Bagiku agama itu bukan sebagai paksaan ataupun keharusan, tapi sebagai kebutuhan dan pilihan hidup. Dengan pemahaman seperti ini aku terbiasa untuk menghargai dan menghormati pilihan orang, termasuk keyakinan. 

Jadi apasih rasanya jadi minoritas? Nothing. Engga ngerasain apa-apa, karena menjadi minoritas seharusnya bukan kelemahan atau kemalangan ya. Minor atau mayor itu cuma tentang jumlah kok. Selama semua bisa mendefinisikan perbedaan dengan benar, pasti toleransi akan terasa lebih mudah. Lagian Tuhan itu maha besar, engga perlu dibela atau diumbar-umbar keagungannya. Cukup kita ilhami dan laksanakan ajaran-Nya😄

Mari spread love no hate!💖

Sunday, October 11, 2020

"Masih sendiri aja?"

Hai Sodara2 jadi nulis ini sebenernya engga direncanakan sebelumnya ya. Kayak tiba2 aja muncul hasrat, akal, dan ide untuk ngebahas ini karena belakangan ini lagi digentayangi sama pertanyaan "Masih sendiri aja, Sin?". Sebenernya bukan keusik gara2 fakta emang masih sendiri aja tapi keusik karena ditanya2 mulu, capek cuy jawabnya. Mana kadang orang ada yang tipenya mirip2 mbak Najwa yang suka nyecer nanya sampe nemu jawaban yang dirasa paling clear dan memuaskan tanda tanya di benaknya. Jadi gini sodara2 sebangsa dan setanah air, banyak reason kenapa orang masih sendiri aja. Ada yang karena emang milih buat sendiri dulu, ada yang karena belum nemu yang tepat, atau ada yang sampe sekarang masih berusaha move on dari orang sebelumnya. Dan aku ada direason 1 dan 2, belum nemu yang pas daripada dipaksain jadinya toxic dan saling nyakitin mending sendiri dulu. Mungkin sodara2 mikirnya 'klise amat nih orang', ya gimana dong kalo fakta dan aktualnya begitu kakak-kakak. 

Kalo menurutku diumur segini dan di fase kehidupan transisi antara kelar kuliah-mencari kerja itu lumayan banyak ngabisin tenaga, waktu, dan pikiran banget. Sempet ga sempet sih buat nyari pendamping APALAGI pas corona coroni begini sodara2. Tiap hari ketemunya orang2 rumah aje, komunikasi sama temen2 juga buat memennuhi kebutuhan alamiah manusia sebagai mahluk sosial. Jadi ya intinya, faktor internal dan eksternal kurang mendukung hamba untuk mendapatkan pendamping, oleh karena itu, iya benar, masih sendiri aja nih. Kalo ditanya, emang engga pengen ngubah status alias mencari sosok2 pacar? Jujur dalam relung hati terdalam ya pengen ya, terlebih selama 4 tahun ini yelah menjadi manusia berstatus single yang lebih banyak tersakitinya daripada berbunga2nya. Paham ga tuh, gagal sebelum official itu adalah aku selama 4 tahun ini. Ya pasti pengenlah nemu the one yang sefrekuensi kemudian mengubah status FB menjadi 'in relationship with', tapi ya kembali lagi pada realitanya bahwa seyogya itu semua tidak semudah ngupil terus meper di tembok. 

Kalo dibilang choosy ya mungkin bener, mungkin juga engga. Tapi yang jelas diumur2 yang sudah berkepala dua, yang uda ga pake seragam putih abu, yang sekarang jadi alumni kampus, yang kemana2 ditawarin asuransi jiwa, kayaknya uda males ya pacaran yang abal2. Apa ya, rasanya kayak ga cukup aja gitu alasan pacaran karena dia good looking, dia tinggi, dia badannya bagus, dia hidungnya mancung, atau dia matanya bersinar bagai rembulan. Bagi aku sih, yang paling penting dan terutama adalah se-frekuensi. Asli. Kalau kamu sama dia satu alur pikir yang sama, berarti komunikasi kalian lberpotensi akan lancar. Hubungan ideal versi aku adalah ketika komunikasi dan keterbukaan eksis di antara kedua belah pihak.

Kalo boleh beropini (ya boleh lah kan negara demokrasi), aku tuh kurang setuju sih sama alasan pacaran karena 'aku cinta kamu, kamu cinta aku, seakan2 'Love is enough'.... aku sih never enough ya. Emang bener cinta itu fondasi, tapi ya menurutku ga cukup realistis aja sama hidup manusia di kota-kota besar pada era ini. Gini-gini, kamu tuh pacaran buat apasih? biar ada yang merhatiin? biar ada yang anterin makan? biar ada yang beliin obat kalau sakit? Itu mah ga butuh pacaran, download g*jek aja di playstore... Pernah ga sih mikir  'dia bisa ga ya bikin aku jadi manusia lebih baik'. Nah ini sebenernya yang jadi tolak ukur buat aku mutusin 'naik tangga' hubungan, lanjut atau engga. Aku sih mikirnya kalau dengan sendiri aja aku bisa terbang harusnya kalo berdua sayapku bisa lebih lebar dan terbang lebih tinggi dong. Bukan malah jadi kusut atau paling sedih kehilangan sayap.

Aku tuh ya sangat menghindari hubungan yang 'aku maunya kamu kayak gini', asli itu tuh toxic banget sih menurutku. Kita tuh manusia ya, hidupnya cuma sekali di kehidupan ini, ga tau besok lahir reinkarnasi jadi apa, tapi ya hidup kayak gini tuh sekali doang woy. Masing2 manusia punya hak buat mimpi setinggi2nya, jadi apa yang mereka mau. Ya ga fair aja lah kalau harus 'ngedit' mimpi cuma gara2 seonggok manusia atau bangun hidup sesuai dengan apa yang diyakini dan didambakan orang lain. Kalau aku sih ga mau ya berada di dalam hubungan aku atau pasanganku harus mengorbankan mimpi atau berubah hidupnya cuma gara2 demi bisa hidup bersama. Egois amat. I'll let you live on your own dreams dan aku juga. Harusnya kita bisa kompromi dan support satu sama lain, saling melebarkan sayap, bukan malah matahin sayap. Terlebih aku bukan tipikal yang bisa dikekang atau diatur harus ini itu, kita tuh sama, jadi gak usah saling atur, tapi saling kompromi dan cari jalan tengah. Gaperlu harus ada yang ngorbanin ini itu, karena harusnya engga harus ada yang jadi tersangka dalam suatu hubungan. 

Begitu ya wahai sodara2 sekalian yang sering bertanya2 "Aduh kenapa sih belum punya pacar, belum move on atau banyak mau?". Senangnya menulis ini semua, jadi kalau entar2 ada yang nanya lagi  gak usah pake aiueo tinggal ngasih link blog ini aja. Hitung2 nambah grafik reader kan. Ya intinya, gak usah dipaksain. Akan ada jalan dan waktu yang tepat bagi mereka yang percaya. Masing-masing punya cerita. Selagi masih sendiri ya banyak2 menambah value dan mencintai diri sendiri, harapannya semoga sosok yang datang bisa seberharga kamu. Semoga yang baca bisa dimudahkan segala urusannya dan selalu bahagia! See you really soon!💖

Friday, August 7, 2020

"Kamu Sih Gak Dewasa!"

Berawal dari seseorang yang mengklaimku dengan kalimat "Kamu sih gak dewasa" yang mendorongku  hari ini untuk menulis tentang apasih dewasa itu? Emang bisa ngukur kadar dewasa seseorang cuma dengan 1 kejapan mata doang? Apa ada panduan untuk jadi dewasa atau ngukur kedewasaan seseorang? Dari literatur kah sumbernya atau cuma tebak menebak? Jujur, sebel deh diklaim gak dewasa tanpa indikator yang jelas dan pasti kalo bisa diukur tingkat akurasinya aja dibawah 50%. Emang ada alat yang bisa ngukur tingkat kedewasaan seseorang secara akurat? Kalau ada ya harusnya sebelum klaim orang ga dewasa ya dengan alat atau metode yang akurat bukan berbasis insting aja. 

Kebanyakan orang ngerasa umur yang menentukan kadar dewasa seseorang. Padahal menurutku bukan umur, tapi pengalaman yang menentukan seberapa dewasa seorang individu. Berdasarkan observasi dengan beberapa individu di sekitarku, ada banyak kasus dimana anak dengan umur lebih muda ternyata lebih dewasa daripada yang berumur 'matang'. Jadi, menurutku (lagi) dewasa itu bukan tentang seberapa lama kamu hidup di bumi ini tapi seberapa banyak kamu bisa belajar selama hidup. 
      
Ini udah masuk opiniku ya, selama 22 tahun aku hidup, banyak banget ups and downs yang uda dilewatin. Banyak nangis, banyak bahagianya juga. Pernah ga sih mikir, kenapa harus nangis kalau bisa ketawa? kenapa harus menderita kalau bisa menghindar? Sementara ini jawaban yang aku punya ya karena semua tangis2 dan penderitaan ini ada sebagai materi pembelajaran buat aku bisa lebih dewasa. Ada quotes yang bilang everything happens for a reason dan aku meyakini ini sih. Apapun yang terjadi di dalam hidupku pasti sudah ditakdirkan dan yang terbaik dari yang di Atas. Termasuk jatuhnya aku. 
       
Kalau aku sekarang ditanya, dewasa itu apa? Sejauh yang aku pahami ya dewasa itu ketika kamu bisa menghargai dan memperlakukan dirimu dengan baik, ketika kamu bisa merasakan jauh lebih bahagia ketika bisa bikin orang lain bahagia, ketika kamu memaafkan ketidaksempurnaan diri sendiri dan menyadari kalau tidak ada yang sempurna di bumi ini selain telor dadarnya Chef Arnold, ketika kamu mampu menghadapi masalah dengan mengandalkan diri sendiri sebelum minta bantuan orang lain, ketika kamu menilai orang lain tidak hanya dari fisiknya aja tapi dari kepribadian dan cara dia berpikir, dan ketika kamu selalu berusaha menempatkan diri kamu di posisi orang lain saat memutuskan sesuatu.Sebenarnya, yang bisa ngukur seberapa dewasanya kita dengan akurat itu ya diri kita sendiri. Mungkin bisa aja pake alat ataupun literatur, konsultasi dari ahli, dan lain-lain. Tapi seharusnya yang lebih mengenal dalam siapa kita ya diri sendiri. 
      
Aku merasa di umur 22 tahun ini sudah jadi pribadi yang lebih dewasa. Walaupun masih banyak yang harus dilewati dan dipelajari untuk jadi dewasa, but at least i'm more mature now. Dalam persoalan hidup, aku yakin semakin berumur semakin berat juga beban hidupnya. Hal ini yang ngebantu kita semakin lebih dewasa dan bijak dalam merespons batu-batu kehidupan (anjay, tapi ini serius). Banyak orang yang datang dan pergi juga bikin kita jauh lebih dewasa, semakin kuat menerima dan beradaptasi. Maka nya banyak orang yang bilang semakin lama hidup semakin sempit circle kita. Ya karena, kadang sadar ga sadar dewasa justru ngubah prioritas dan pemikiran kita jadi lebih kompleks. Termasuk pemikiran dalam merancang masa depan. 
    
Dalam case-ku, aku merasa lebih fleksibel dan realistis. Fleksibel kalau semua rencana gak akan selalu sesuai dengan apa yang kita rencanakan jadi harus bisa spontan dalam menanggapi reaksi-reaksi alamiah yang mungkin terjadi di hidupku. Realistis kalau ekspetasi beda sama angan-angan yang tanpa didasari fakta dari kondisi eksisting, semua rencana harus berdasarkan apa yang terjadi bukan cuma apa yang aku mau. Termasuk dalam hal percintaan.Semakin ke sini, semakin simple sekaligus berat juga list parnert hidup dambaanku. Kalau 7 tahun yang lalu aku ditanya mau punya pacar yang seperti apa? ya mau yang tinggi, ganteng, rambutnya gondrong, dll. Kalau sekarang list ku masih sama, bisa ancur dunia persilatan. Maksudku, 7 tahun yang lalu aku masih sangat naif untuk sadar hidup ini bukan sebatas tinggi badan- tampang muka- hair style- kemudian- aku cinta kamu dan kamu cinta aku- mari kita bersama woy😠.

Intinya, yang bisa jawab seberapa dewasanya kamu ya kamu sendiri. Dalam opiniku, engga ada satu orang pun yang berhak ngeklaim kedewasaan seseorang. Dewasa itu engga instant tapi butuh proses, kalau instant ya beli aja indomie. Jadi dapat disimpulkan, dewasa versi aku berarti siap untuk menjadi pribadi yang lebih rumit. Aku berharap kamu juga bisa tau seberapa dewasanya kamu sekarang dan mendefinisikan dewasa versi kamu. Semoga kita selalu bisa melewati proses pendewasaan yang ada dan terus menjadi pribadi yang lebih baik ya!💚 Sampai jumpa di tulisan-tulisan iseng selanjutnya...